KITA BUKAN BANGSA TEMPE
KITA BUKAN BANGSA TEMPE
Oleh: Djoko Rahardjo*
Urusan Tempe Risaukan Istana,
demikian tajuk utama di Harian Surya yang terbit hari Rabu, 25 Juli
2012. Mungkin orang asing yang belum faham dengan urusan “pertempean” di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa akan terheran-heran, setelah membaca
berita ini. Apakah tempe itu senjata yang ampuh sehingga dapat
merisaukan pemerintah? Apakah peristiwa yang terjadi saat ini masih ada
hubungannya dengan masa lalu bangsa kita?
Lebih lanjut Harian Surya mewartakan: Persoalan kenaikan harga kedelai yang berimbas pada mahalnya tempe dan tahu akhirnya sampai ke istana presiden. Ancaman para perajin tempe Jakarta untuk mogok selama tiga hari ke depan sudah didengar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono….Kenaikan harga kedelai ini dipicu oleh kekeringan di Midwest AS, Akibat kekeringan terparah selama 50 tahun,,,,Padahal Indonesia mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelainya dari AS. |
Saking hebatnya tempe ini—pada tahun
1963—Presiden RI yang pertama, Soekarno—pernah memakainya sebagai
senjata pamungkas. Kompasiana, 16 Mei 2011, pukul 10.28 wib., mengutip
Pidato Bung Karno: Kita Bukan Bangsa Tempe, dan Lebih Baik Makan Gaplek
(di unduh tgl 25-7-2012 pukul 14.50 wib.).
|
Bila kedua peristiwa tersebut kita
cermati, ternyata masih ada hubungannya walaupun pada konteks yang
berbeda. Pada masa yang lalu—kita bukan bangsa tempe—adalah suatu
ungkapan ketidaksukaan Bung Karno terhadap campur tangan asing—yang
mengaitkan setiap bantuan/pinjaman dengan kemauan negara
pendonor—termasuk Amerika Serikat. Pada masa kini—secara faktual—bahwa
urusan tempe—kita tidak dapat menghindar impor kedelai dari Amerika
Serikat.
|
Kepanikan para pengrajin tempe akan
kenaikan harga kedelai dapat difahami. Dalam hal ini, pengrajin tempe
atau produser tidak lagi menerima keuntungan yang layak atas jerih
payahnya. Sementara itu, pembeli atau konsumen masih dapat memilih lauk
pauk yang lain. Hubungan antara produsen dan konsumen sudah tak lagi
mesra. Untuk pindah profesi dari pengrajin tempe ke profesi lain
tidaklah mudah. Harapan para pengrajin tempe kepada pemerintah adalah
memperoleh harga kedelai yang sesuai dengan daya beli konsumen.
|
Pemerintah ke depan, akan mencetak 500
hektar lahan pertanian kedelai (Metro TV, Rabu 25 Juli 2012). Memang
tidak serta merta urusan kedelai ini dapat segera diselesaikan. Tentu
masih perlu proses. Kita pernah memproklamirkan diri sebagai negara
penghasil tanaman padi yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri
(swasembada) bahkan pernah mengekpornya. Tetapi untuk menjaga stabilitas
pangan, khususnya beras maka impor beras tak dapat dihindari.
Kemungkinan hal ini juga akan terjadi pada kedelai.
|
Pengalaman kita sebagai bangsa yang
sudah merdeka selama 67 tahun, pernah merasakan pedasnya harga lombok
yang mencapai Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) per-kilogram. Walaupun
lombok atau cabe tidak termasuk sembilan bahan pokok tetapi sempat
memicu angka inflasi. Akankah kenaikan harga kedelai ini memicu angka
inflasi?
|
Ada hal yang menarik dari produk olahan
kedelai yang bernama tempe. Bung Karno melukiskan “ketidakberdayaan
ekonomi bangsa” dengan ungkapan “Kita Bukan Bangsa Tempe”. Meskipun
sebagian rakyat Indonesia penyuka makanan tempe. Entahlah mengapa beliau
menggunakan ungkapan tersebut. Menurut pendapat penulis, Bung Karno
mendidik kita agar tidak menjadi “bangsa yang cengeng”, yang mudah
mengeluh terhadap persoalan yang sepele. Kita didik oleh beliau agar
menjadi bangsa yang besar, yang mampu menyelesaikan masalah bangsa
dengan semangat persatuan dan kesatuan.
|
*) Djoko Rahardjo, Staf Subbag Sarana Akademik BAKPIK UM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Harap berkomentar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta dengan adab kesopanan.