Kisah kehebatan agen spionase (intelijen) Israel, yang lebih dikenal
dengan nama Mossad, telah menjadi legenda. Operasi intelijen yang
dilakukan Mossad terutama mengawasi organisasi dan bangsa Arab di dunia.
Karena itu Mossad menjadi momok bagi dunia Arab. Sepak terjangnya dalam
mengacak-acak sejumlah negeri membuatnya diakui sebagai salah satu
dinas intelijen terbaik dan tersukses di dunia.
Kehebatan Mossad—dengan mottonya “Be’ein Tachbulot Yipol Am Veteshua
Berov Yoetz” (simpan semua yang engkau ketahui untuk dirimu
sendiri)—dapat dibuktikan antara lain dengan kisah sukses Eli Cohen
(1924-1965). Ia hampir terpilih sebagai Menteri Pertahanan Suriah dalam
kabinet Presiden Hafez Assad. Ia menjalankan tugas spy dengan sangat
baik hingga mencapai kedudukan setara Deputy Minister of Defense.
Tak ada yang mengira Eli Cohen yang memakai nama samaran Kamel Amin
Tsa’abet ini sebagai “agen spy” Israel, hingga kedoknya terbuka dan
dihukum mati di tiang-gantung di pusat Kota Damascus. Namun hasil
kerjanya tak sia-sia karena memberikan andil yang sangat besar pada
Perang Enam Hari (1967) yang dimenangkan oleh Israel.
Tentu saja kisah sukses dan kehebatan agen spy ini akan lebih panjang
jika menyebut dinas rahasia negara seperti CIA (Central Intelligence
Agency) Amerika Serikat, KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti) Uni
Soviet, dan M16 atau SIS (Secret Intelligence Service) Inggris.
Lalu
bagaimana dengan sejarah intelijen Indonesia? Kiprah jejak intelijen
di Indonesia, sejak awal kemerdekaan RI hingga kini.?
Badan intelijen di Ibdonesia pertama kali dibentuk pada 7
Mei 1946 yang diberi nama BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia),
penggagasnya adalah Zulkifli Lubis.
Pada awalnya adalah kegelisahan seorang perwira tentara lulusan PETA
yang khawatir kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru seumur jagung bakal
dirampas kembali oleh penjajah. Juga karena bentuk-bentuk perlawanan
mengusir penjajah dari bumi Indonesia yang cenderung tak mengenal
koordinasi satu sama lain akibat kendala geografis.
Dua hal itulah yang kemudian meneguhkan hati Zulkifli Lubis, nama
perwira tentara itu, untuk membentuk sebuah badan intelijen pada 7 Mei
1946 yang diberi nama BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia). Dengan
dibantu beberapa bekas perwira Jepang yang enggan kembali ke negaranya
karena kalah perang, Zulkifli Lubis mendidik para pemuda Indonesia yang
memiliki naluri pengintaian tajam untuk dijadikan prajurit bayangan yang
bertempur dalam "perang adu pintar".
Salah satu tugas penting BRANI waktu itu adalah melakukan kegiatan
kontra intelijen, yaitu menekan semaksimal mungkin jumlah simpatisan
Belanda dan menggalang dukungan bagi Republik. Karena keterbatasan dana,
kegiatan kontra intelijen pada awalnya hanya dilakukan di wilayah Jawa.
Berkat kecerdikan dan keuletannya, Lubis berhasil mengirim anak buahnya
untuk menyisir wilayah-wilayah yang rentan terhadap pengaruh pihak
Belanda, seperti Bali, Sumatra, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Nusa
Tenggara. Perang strategi yang dilakukan Lubis menuai hasil. Dukungan
terhadap kedaulatan Republik semakin besar di wilayah-wilayah
itu--terlihat dari antusiasme yang menggebu untuk bergabung dalam sebuah
wadah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semula BRANI memiliki kedudukan istimewa lantaran bertanggung jawab
langsung kepada presiden Soekarno. Keintiman hubungan antara Lubis dan
Soekarno ternyata membuat orang-orang di sekitar Soekarno cemburu dan
merasa terancam. Tokoh yang pertama kali menunjukkan ketidaksukaannya
terhadap Lubis adalah Amir Sjarifuddin, menteri pertahanan waktu itu.
Sjarifuddin ternyata lebih lihai mengambil hati Soekarno. Akhirnya, pada
30 April 1947 di Yogyakarta, Soekarno menyetujui penggabungan semua
unit intelijen di bawah kendali kementerian Sjarifuddin. BRANI
dibubarkan dan diganti dengan unit baru yang bernama Bagian V di bawah
menteri pertahanan.
Fakta lain yang membuat posisi Lubis semakin terpinggirkan adalah
rivalitasnya dengan para petinggi Angkatan Darat, terutama dengan A.H.
Nasution. Merasa muak dengan pertarungan politik yang kotor, pada 1956
Lubis berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah dengan kekerasan
bersenjata tapi berhasil digagalkan. Ia lalu memilih meninggalkan
Jakarta dan bergabung dengan pasukan pemberontak di Sumatra dan
Sulawesi.
Secara umum, di bawah kepemimpinan Soekarno, kondisi rakyat Indonesia
jauh dari yang dinamakan sejahtera. Inilah yang kemudian memicu PKI
untuk mengambil alih kekuasaan selain rivalitasnya dengan Angkatan
Darat. Masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, mengapa kudeta PKI pada
1965 itu begitu mudah dipatahkan oleh Soeharto? Padahal hampir seluruh
petinggi AD berhasil dibunuh dan kredibilitas politik Soekarno waktu itu
semakin lemah. Soeharto begitu mudah menghimpun kekuatan AD dan dalam
hitungan sekejap berhasil menumpas PKI. Kemudian Soekarno dipaksa
menandatangani surat perintah yang memberi wewenang kepada Soeharto guna
mengambil langkah strategis untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Untuk memperlancar kegiatan penertiban, Soeharto membentuk unit
intelijen yang disebut Komando Intelijen Negara atau KIN. Semua posisi
utama dalam KIN diisi oleh perwira-perwira asal Jawa Tengah, seperti
Brigjen Yoga Sugomo dan Letkol Ali Moertopo. Hal ini sekedar untuk
melindungi diri, mengingat karir Soeharto yang melesat di tengah-tengah
kekacauan yang melanda, juga karena keturunan Jawanya, sehingga Soeharto
yang penuh curiga merasa perlu meminta bantuan para tentara bawahan
yang berasal dari daerah yang sama. KIN inilah yang kemudian menjadi
penopang bagi mulusnya usaha Soeharto mengambil alih kekuasaan.
Pada Maret 1967 parlemen secara resmi mengukuhkan Soeharto sebagai
Pejabat Presiden. Soeharto secara simbolis lalu mengundurkan diri dari
jabatan kepala KIN. Melalui Keputusan Presiden pada 22 Mei tahun yang
sama Badan Koordinasi Intelijen Negara atau BAKIN dibentuk untuk
menggantikan KIN dengan Mayjen Soedirgo sebagai kepalanya.
Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengalami perubahan
politik-ekonomi yang mendasar lantaran kiblat politik Soeharto yang
cenderung ke arah negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.
Kedekatan dengan AS secara signifikan juga berdampak pada kemajuan
BAKIN. Agen-agen CIA secara rutin memberikan dukungan dalam bentuk
bantuan alat-alat pengintaian dan pelatihan intelijen. Keterlibatan
aktif CIA dalam membantu BAKIN bukan tanpa maksud mengingat kegiatan CIA
di Indonesia pada prinsipnya merupakan perluasan dari kebijakan luar
negeri Amerika yang berusaha membendung pengaruh komunisme di
negara-negara Asia.
Sudah bisa ditebak, BAKIN kemudian menjadi dinas intelijen resmi yang
begitu agresif terhadap para diplomat negara-negara komunis. Dua
kegiatan operasi intelijen yang terkenal di masa-masa awal BAKIN adalah
operasi intelijen dengan sandi Friendly 1 dan Friendly 2 dengan sasaran
kantor kedutaan negara-negara komunis dan lembaga penerangan Front
Pembebasan Nasional atas Vietnam Selatan (NLF) di Indonesia. Lambat
laun, berkat kedekatannya dengan CIA dan Mossad, BAKIN menjelma menjadi
badan intelijen yang licin dan profesional.
Namun, di kalangan petinggi militer terdapat pihak yang sepertinya tidak
menghendaki BAKIN tumbuh menjadi badan intelijen sipil yang kuat.
Gelagat itu kian menguat ketika L.B. Moerdani (seorang jendral TNI yang
karirnya meroket sejak keberhasilannya menggagalkan pembajakan pesawat
di Bangkok pada 1981) diangkat menjadi Panglima TNI. Setelah melepaskan
posisi wakil kepala BAKIN, L.B. Moerdani menggunakan kesempatan ini
untuk memberi perhatian lebih kepada intelijen militer. Pusat Intelijen
Strategis yang ada waktu itu diperluas menjadi Badan Intelijen Strategis
(BAIS). BAIS memiliki wewenang birokrasi yang kuat dan strategis serta
mengemban kekuasaan hukum yang dulu dijalankan oleh Komkamtib.
Dihadapkan pada pamor BAIS yang kian mencorong, BAKIN mencoba
mempertahankan kedudukannya dengan memperkuat pos-posnya yang ada di
luar negeri. Perhatian khusus diberikan pada Timur Tengah, di mana BAKIN
terus memperkuat tiga buah pos yang telah didirikan satu dasa warsa
sebelumnya. Pada awal 1983 seorang penasihat Israel tiba di Jakarta
untuk mengajarkan teknik intelijen kepada lima pejabat junior terpilih
guna penugasan di luar negeri.
Seiring dengan kondisi politik internasional yang menunjukkan
tanda-tanda kekalahan kubu komunis Soviet dari demokrasi liberal
Amerika, BAKIN boleh dikatakan mengalami masa rehat. Kondisi politik
dalam negeri yang kian stabil juga membuat BAKIN tidak lagi memiliki
tugas ekstra. Di samping itu, dalam kegiatan intelijen dalam negeri
sepertinya dinas intelijen militer (BAIS) lebih mendominasi, lebih
memiliki fungsi-fungsi strategis untuk melakukan penertiban, yang
ujung-ujungnya ditujukan untuk menarik perhatian sang Presiden. Dampak
dari semua itu, BAKIN menjadi dinas intelijen yang serba tanggung. BAKIN
tidak diikutkan dalam operasi di daerah-daerah yang paling bergejolak
seperti Aceh, Timor Timur, dan Irian Jaya. Bahkan dalam medan
pertempuran politik yang kritis di Jakarta, BAKIN tidak diperhitungkan.
Sejak awal 1990-an hubungan BAKIN dengan para kolega internasionalnya
(CIA, Mossad, M16) juga menunjukkan kerenggangan. Ini semata-mata
disebabkan pertimbangan pragmatis. Amerika dan sekutu-sekutunya tidak
lagi memiliki musuh bersama sebagai target operasi setelah runtuhnya Uni
Soviet sehingga membiayai kegiatan intelijen di Indonesia tidak lagi
mendatangkan manfaat yang signifikan. Butuh waktu sekitar satu dekade
untuk mengembalikan hubungan yang pernah terjalin harmonis itu hingga
agenda perang menumpas terorisme internasional oleh Amerika Serikat
dikumandangkan setelah peristiwa 11 September 2001. Pada masa-masa itu
telah terjadi bongkar pasang kepala BAKIN akibat seringnya pergantian
kekuasaan semenjak runtuhnya rezim Orde Baru. Salah satu peristiwa
penting yang perlu diingat adalah penggantian nama BAKIN menjadi BIN
(Badan Intelijen Negara) pada 2001 semasa pemerintahan Gus Dur.
Momentum perang melawan terorisme dengan cepat dimanfaatkan oleh BIN
untuk kembali menjalain hubungan dengan kolega-kolega internasionalnya,
terutama CIA. Pada 19 September 2001, di hadapan CIA Hendro Priyono,
kepala BIN waktu itu, mempresentasikan data orang-orang yang dianggap
potensial melakukan kegiatan teror di Indonesia. Orang-orang yang masuk
dalam daftar itu adalah para alumni pejuang yang membantu membebaskan
Afghanistan dari cengkeraman Soviet. Perang melawan terorisme
mengingatkan BIN pada masa-masa keemasannya sewaktu berhasil mematahkan
setiap upaya penyusupan agen-agen komunis di Indonesia pada
dekade-dekade sebelumnya.
Sepertinya, agenda menumpas terorisme di Indonesia oleh BIN tidak
sia-sia. Sebagian besar tokoh kunci di balik aksi-aksi teror di
Indonesia berhasil ditangkap. Sekedar contoh, Amrozi, Imam Samudra, dan
Muklas, pelaku peledakan bom Bali 1 berhasil ditangkap, diadili, dan
diganjar hukuman mati. Umar al-Faruq dan beberapa rekan Timur Tengahnya
juga berhasil diringkus, untuk kemudian diserahkan pada pihak Amerika.
Prestasi gemilang itu cukup dijadikan pertimbangan oleh CIA untuk
meminang kembali BIN sebagai mitra kerjanya.
Sumber: Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia
Penulis : Ken Conboy
Penerbit : Pustaka Primatama, Jakarta
Edisi : Pertama, Februari 2007
Tebal buku : xiv + 294 hlm.